Erupsi Kelud - Hari Kamis, 13 Februari 2014, udara di
sekitar wilayah kecamatan Kras lebih terik dari biasanya. Namun tak terbetik
dalam pikiran kami, bahwa beberapa jam kemudian akan terjadi peristiwa dahsyat
yang menggemparkan. “Mungkin akan turun hujan deras,” duga kami sebab udara tak
juga sejuk meski hari menjelang petang.
Semua orang masih beraktivitas seperti biasa, pun saya. Sore
hari, saya mengajar anak TPQ. Usai Maghrib saya lanjutkan dengan mengisi kajian
untuk remaja masjid. Seperti biasa, dalam keceriaan yang sama, dalam kedamaian
majelis Allah bersahaja yang menenteramkan hati. Adzan Isya mengumandang, kami
shalat berjamaah, lalu pulang ke rumah masing-masing. Remaja-remaja belasan
tahun berjalan kaki bersama-sama sembari sesekali berkecandaan. Pemandangan
yang saya sukai setiap usai mengaji.
Sampai di rumah, saya masih bersantai bersama keluarga.
Sekitar pukul 21.00 WIB, saya ajak anak saya berangkat tidur. Tak ada sesuatu
pun yang berbeda. Siapa sangka, sekitar dua jam berikutnya saya terbangun oleh
suara gelegar yang keras. Bukan hanya sekali, tapi berlanjut dengan
gelegar-gelegar berikutnya. Di luar, suara orang-orang riuh terdengar. “Gunung
Kelud mbledos …! Gunung Kelud mbledos …!” begitulah yang saya dengar. Saya
bersicepat keluar kamar, dan mendapati kedua orangtua pun sudah terbangun. Kami
keluar rumah, dan bergabung bersama orang-orang. Langit di atas rumah kami
menjelaga.
Sementara suara gelegar semakin menghentak membahana. Suasana jalan
desa yang biasanya lengang berubah ramai; riuh oleh wajah-wajah panik.
Corong-corong masjid bersahutan menyerukan peringatan, dan himbauan untuk terus
berdoa. Suasana semakin bertambah miris.
Tanpa dikomando, kami bersama-sama menuju area pesawahan
yang berjarak sekitar 200 m dari pemukiman—sama dengan yang kami lakukan 14
tahun yang lalu, saat Kelud meletus. Dari sana, terlihat jelas kilatan-kilatan
lidah api membumbung ke angkasa. Warna langit diatasnya menjingga serupa bara.
Setiap terdengar gelegar keras, tersemburlah percikan-percikan api menjurai
serupa kembang api raksasa. Setelahnya rangkaian kilat bersahutan beriring
gumpalan awan hitam mengarak.
Kami semua terdiam dengan rasa masing-masing. Semua mata
memandang ke sana; ke arah Timur. Saya yakin, tak peduli yang terbiasa shalat,
atau yang tak pernah tersentuh air wudhu, sama-sama menatap Kelud dengan dada
yang ruah oleh ketakutan. Takut pada Allah, takut pada bencana yang datang
tanpa diundang, takut pada dosa-dosa yang seketika mengemuka satu demi satu,
takut pada maksiat yang pernah dilakukan, takut pada kematian, dan segala macam
rasa yang hanya bertumpu pada satu; Allah Sang Maha.
Jantung saya berdegup kencang. Sekilas, tak sanggup saya
berucap selain Maha Besar Allah ….subhanallah walhamdulillah wallahu akbar!
Jarak rumah kami dengan Kelud sekitar 20 km. dan begitu dahsyatnya letusannya
terasa. Lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang lebih dekat? Pasti lebih
memiriskan hati lagi. Menyaksikan lukisan bara di langit Kelud, sungguh terasa
begitu tak berartinya manusia. Sekuat apapun, sekaya apapun, sepandai apapun,
setinggi apapun jabatan, seorang presiden sekalipun, siapa yang akan mampu
selamat darinya kecuali lari terbirit-birit mengungsi. Tak berarti segala
kesombongan karena Allah-lah Sang Maha Sombong. Setitik saja Ia jentikkan jari,
manusia berhamburan menyelamatkan diri. Subhanallah ….
Tak sampai sejam, saya kembali ke rumah. Suara gelegar terus
terdengar. Malam Jumat yang benar-benar mencekam. Tak lama kemudian, terdengar
bunyi bergemeletik di atap rumah. Semakin lama semakin sering. Orang-orang yang
berada di area pesawahan terdengar berhampuran pulang.
“Udan wedi …! Udan wedi…!” kata beberapa di antaranya.
Saya kembali keluar. Saya tadahkan tangan. Masya Allah … butiran pasir
menyentuh tangan saya. Dan ia terus turun. Turun dan turun hingga hari
menjelang dini.
Keesokan paginya—Jumat 14 Februari 2014—Kediri bersaput
campuran pasir dan abu. Atap-atap, dan dedaunan memutih. Tanah tak terlihat
kecuali hamparan pasir abu keputihan. Jalan-jalan gelap oleh debu yang
beterbangan. Sekolah-sekolah diliburkan. Orang-orang mulai sibuk membersihkan
halaman dan rumah masing-masing. Sungguh pagi yang sibuk. Ternyata bukan hanya
Kediri saja. berita di televisi mengabarkan jika Solo, Yogyakarta, Klaten,
Magelang, Bali, Madura, Surabaya, bahkan Cilacap pun hujan pasir. Masya Allah…
Hanya satu gunung berapi, dan sedemikian hebat efek
letusannya. Hanya satu gunung berapi, namun telah cukup membuat ribuan orang
panik dan sibuk karenanya. Bagaimana dengan kiamat ketika nanti semua gunung
akan memuntahkan isi perutnya?
Allah sedang menyapa kita. Kita yang mulai lalai dengan
kebesaran kuasa-Nya. Kita yang mulai enggan melaksanakan perintah-Nya. Allah
menyapa kita tepat di hari yang selalu dielu-elukan sebagai hari kasih sayang.
Sebuah hari yang seolah menjadi pelegalan bagi setiap kemaksiatan. Berapa
pemuda-pemudi yang melepas malam Valentine dengan berhura-hura, bahkan berzina?
Bukankah tak asing lagi berita jika penjualan kondom senantiasa melejit saat
Valentine tiba? Iya, inilah Valentine 2014. Valentine dari Allah untuk
merangkul hamba-hamba dalam rengkuhan-Nya.(dakwatuna)
Terima kasih telah membaca artikel tentang Gunung Kelud Meletus, ‘Kado Valentine’ Dari Allah di blog Blogger mBantul jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.